Luna seorang penyandang tunarungu yang tersesat diantara sekumpulan orang yang (merasa) sempurna fisiknya tapi tidak jiwanya. Luna hidup dalam keterbatasan. Namun siapa peduli? Mereka tanpa keterbatasan sekalipun tetap saja bukan manusia yang sempurna kan?
Aku tahu bagaimana rasanya diremehkan, bagaimana rasanya tidak diakui, bagaimana rasanya diabaikan. Ya, aku memang hidup dalam keterbatasan. Namun siapa peduli? Mereka, tanpa keterbatasan sekalipun tetap saja bukan manusia yang sempurna kan?
Perkenalkan, namaku Luna. Aku adalah seorang penyandang tunarungu yang tersesat di antara sekumpulan orang-orang yang (merasa) sempurna fisiknya, tetapi tidak jiwanya. Setiap hari, aku menikmati pandangan sinis dari mata-mata mereka, dan terkadang, -tapi jarang- pandangan iba.
Aku tidak suka keduanya. Baik pandangan sinis, maupun pandangan iba. Aku bukan sampah, bukan penyebar virus mematikan yang berhak dijauhi. Dan aku bukan pengemis yang butuh dikasihani. Aku hanya butuh pertemanan yang utuh. Pertemanan yang menghormati perbedaan. Aku ingin mendapatkan hak yang sama. Pandangan yang sama. Apa bisa? Aku memang tidak sempurna, tapi aku tidak lemah. Aku memang tidak jenius, tapi aku tidak bodoh. Aku ini manusia biasa, sama seperti mereka. Namun aku bersyukur, dengan kekurangan ini aku tidak perlu mendengar segala hal yang buruk, gunjingan, caci maki, dan hal-hal lain yang Tuhan benci.
Selama ini aku selalu mencoba berteman. Menuliskan kalimat-kalimat sapaan pada secarik kertas yang selalu kubawa kemanapun aku pergi, menyodorkannya pada mereka sambil berharap mereka akan membaca dan membalasnya. Tapi harapan tinggallah harapan. Mereka membacanya, hanya membacanya. Kemudian menatapku heran, mengangkat sebelah alisnya, mengucapkan sesuatu entah apa, kemudian berlalu begitu saja. Sakit? Ya. Sangat sakit. Namun aku sudah terbiasa, jadi aku bisa sembuh dengan cepat.
***
Beberapa bulan yang lalu…
Bagas menjejeri langkahku. Aku menoleh dan tersenyum. Dia mengangsurkan secarik kertas bertuliskan “Ada waktu?” aku mengangguk. Selalu. Selalu ada waktu untukmu Bagas, gumamku. Bagas menggiring langkahku menuju taman. Di sana kami duduk berdampingan sambil menikmati angin yang berhembus lirih.
“Wajahmu tampak begitu damai, apa rahasianya?” kalimat ini tertulis di atas secarik kertas yang dia bawa.
“Karena aku tidak mendengar apapun.” Jawabku. Dia tersenyum. Kemudian kami sama-sama terdiam. Lama sekali.
Aku memujinya dalam hati. Berjuta-juta kali. Aku suka mata itu. Mata yang teduh dan dalam. Tatap aku, Bagas. Tatap aku lama-lama. Aku senang tenggelam didalamnya…
Bagaskara. Selama ini aku merasa matahari belum pernah benar-benar terbit sebelum aku melihat senyummu… karena senyummu itu adalah matahariku yang sesungguhnya.
Bagas adalah seniorku di kelas melukis. Dia adalah pelukis yang sangat hebat. Dia bahkan pernah menggelar pameran tunggalnya di usia 12 tahun. Kami mulai dekat ketika secara kebetulan aku bertemu dengannya di sebuah acara penggalangan dana melalui lelang lukisan. Bagas salah satu penyumbang saat itu. Dia menyumbangkan lukisan bulannya yang cantik, dan mamaku yang menjadi pembelinya.
Bagas sangat suka lukisan bertema angkasa. Pernah suatu kali dia memamerkan lukisan galaksi andromedanya padaku. Lukisan yang membuatku terperangah, dan semakin mengaguminya.
Semakin dekat aku dengan Bagas, pandangan dari orang-orang sekitarku kian memanas. Aku bisa melihat sorot kebencian disana. Tapi biarlah, aku tidak mau berburuk sangka. Hingga puncaknya, seorang gadis memaki-maki aku tanpa suara. Aku hanya diam tak mengerti. Lalu tiba-tiba, Bagas datang. Dia menarik gadis itu menjauh dariku. Aku semakin tidak mengerti.
Beberapa saat kemudian Bagas menghampiriku. Dari mimik wajahnya, aku tau dia sedang kesal. Dia mengajakku ke taman, kemudian menulis sebuah kalimat dengan terburu-buru. “Aku tidak suka jika ada orang yang berbicara kasar padamu.” Tulisnya.
“Tidak masalah, toh aku tidak dapat mendengarnya. Salah satu keuntungan dari tuli. Aku tidak perlu mendengar hal-hal yang buruk.” Jawabku. Dia tersenyum simpul, kemudian membalas.
“Bukan kamu yang tuli, tapi dunia yang bisu.” Kemudian aku memeluk Bagas. Bagaimana bisa dia membuatku merasa berarti seperti ini? Dia tidak pernah sekalipun mengeluhkan kekuranganku. Dia bahkan selalu menjunjungku. Dia membuatku merasa sempurna…
Label: Short Story